Dalam penanganan perkara pidana anak, penerapan keadilan restoratif dengan diversi merupakan pilihan yang utama. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Menurut Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Diversi wajib diutamakan dalam sistem peradilan pidana anak. Hal tersebut untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya. Diversi dapat dilaksanakan jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 UU SPPA).
Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk:
- perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
- penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
- keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) paling lama tiga bulan; atau
- pelayanan masyarakat.
Kesepakatan diversi juga dapat dilakukan tanpa persetujuan pihak korban dan kesediaan anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi ini dapat dilakukan untuk: tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Kesepakatan diversi seperti ini dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan.
Hasil kesepakatan diversi tanpa persetujuan pihak korban dapat berbentuk: pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan, atau pelayanan masyarakat.
Akan tetapi, ada kalanya proses diversi tidak menemukan kesepakatan antara pihak korban dan anak yang diduga melakukan tindak pidana sehingga proses peradilan pidana anak tetap dilanjutkan.
Sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi:
- pidana peringatan;
- pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan);
- pelatihan kerja;
- pembinaan dalam lembaga; dan
- penjara.
Sementara itu, pidana tambahan terdiri atas:
- perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
- pemenuhan kewajiban adat.
Jika dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja paling singkat tiga bulan dan paling lama setahun. Hal penting lain yang ditekankan dalam peradilan pidana anak adalah penggunaan pidana penjara sebagai upaya terakhir. Anak yang berkonflik dengan hukum dijatuhi pidana penjara jika keadaan dan perbuatannya dianggap akan membahayakan masyarakat. Anak akan menjalani masa pidananya di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Namun, pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan kepada anak adalah penjara paling lama sepuluh tahun. Anak akan menjalankan pembinaan di LPKA hingga ia berusia 18 tahun. Anak yang telah menjalani setengah dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik juga berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Artikel disusun oleh Dwi Retno Widati, S.H., M.P.A.
Penyuluh Hukum Ahli Muda
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta