Tulisan ini telah dimuat di media suara.com dan dipublikasikan pada Kamis (16/04/2020).
Suara.com - Salah satu isu nasional yang cukup ramai diperbincangkan dewasa ini adalah tentang pembebasan narapidana di tengah kondisi Indonesia yang sedang mengalami pandemi Coronavirus Disesase (COVID-19).
Pro dan kontra menyeruak di berbagai kalangan masyarakat pasca Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna H. Laoly mengumumkan kebijakan tersebut.
Berbagai opini dan asumsi kemudian ramai mengisi media sosial mulai dari penolakan pembebasan atas dasar kriteria tertentu hingga ketakutan masyarakat akan tindak pidana baru yang berpotensi dilakukan para narapidana pasca dibebaskan tersebut.
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 per 15 April 2020 pukul 09.00 WIB, jumlah kasus positif COVID-19 yang terjadi di Indonesia adalah 4.839. Pemerintah juga telah menetapkan COVID-19 sebagai bencana non alam secara nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Konsekuensi atas penetapan tersebut adalah Pemerintah harus melakukan upaya-upaya penanggulangan agar COVID-19 tidak menyebar secara luas, begitu pula dengan Kementerian Hukum dan HAM. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM sebagai unit eselon 1 yang menaungi Lapas/Rutan di Indonesia telah terlebih dahulu mengambil langkah pencegahan.
Melalui Surat Edaran Plt. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, seluruh Lapas/Rutan di Indonesia diperintahkan untuk menyiapkan fasilitas-fasilitas yang mendukung pencegahan COVID-19 seperti penyediaan bilik sterilisasi, pengadaan alat pelindung diri, pengadaan blok hunian isolasi, hingga penyemprotan disinfektan di area Lapas/Rutan.
Tak cukup hanya dengan upaya pengadaan fasilitas, Kementerian Hukum dan HAM kemudian mengambil kebijakan untuk mengurangi over kapasitas Lapas/Rutan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kapasitas Lapas/Rutan di seluruh Indonesia adalah 130.000 orang, namun pada kenyataannya jumlah penghuni saat ini melebihi 270.000, itu artinya ada over kapasitas 100% lebih. Kondisi tersebut jelas sangatlah rentan terhadap penyebaran COVID-19.
Lapas/Rutan sekali pun sebagai tempat yang terbatas akses keluar masuknya namun tetap tidak berarti disana dapat dilakukan full lockdown. Pemahaman Lapas/Rutan sudah full lockdown dan tidak mungkin ada penyebaran COVID-19 di dalamnya mungkin perlu diluruskan.
Para pegawai di Lapas/Rutan menjadi subyek yang menciptakan lalulintas setiap harinya. Selain itu, pengiriman bahan makanan bagi para warga binaan juga dilakukan setiap pagi. Fakta tersebut tentunya menunjukkan bahwa potensi COVID-19 masuk ke dalam Lapas/Rutan masih ada dan tidak akan mungkin ditiadakan, hanya dapat diminimalisir.
Kementerian Hukum dan HAM kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.
Peraturan lain yang juga diterbitkan untuk mendukung kebjiakan pengurangan over kapasitas adalah Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 19 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi Dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19. Kedua peraturan tersebut menjadi payung hukum bagi pengeluaran para narapidana yang telah memenuhi persyaratan.
Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly dalam pengarahannya juga telah menyampaikan bahwa para narapidana yang mendapatkan asimilasi dan hak integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas) harus melakukan karantina mandiri di rumah.
Namun pada kenyataannya, beberapa narapidana justru tidak mensyukuri nikmat bebas dengan melakukan tindak pidana baru. Masyarakat kemudian mempertanyakan kejadian tersebut dan tak sedikit yang menyinggung stabilitas keamanan dalam bermasyarakat.
Memang ada benarnya apa yang dipertanyakan tersebut, namun perlu dipahami bahwa itulah risiko dari sebuah kebijakan. Seorang pakar kriminologi, Leopold Sudaryono dalam diskusinya menyampaikan bahwa data selama tahun 2020 angka kejahatan residivis adalah 0.05 persen di mana angka ini justru turun dari tahun sebelumnya.
Kementerian Hukum dan HAM juga telah melaksanakan manajemen risiko dengan memberlakukan straft cell atau sel pengasingan dengan pembatasan hak bagi narapidana yang mengulangi tindak pidana pasca program pemberian asimilasi dan hak integrasi.
Selain itu, fungsi pengawasan terhadap narapidana yang bebas sebenarnya juga telah dilaksanakan melalui pembimbing kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan.
Masyarakat perlu mengetahui juga bahwa ada potensi risiko yang jauh lebih besar apabila kebijakan pembebasan narapidana karena COVID-19 tidak dilakukan. Penggamabaran kecil tanpa bermaksud mendoakan adalah kondisi di Lapas Kelas IIB Idi Aceh.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 8 April 2020 kapasitas penghuni adalah 63 orang, namun pada kenyataannya diisi 396 orang atau over kapasitas 529%. Seandainya satu saja narapidana terpapar tanpa gejala maka mungkin tak sampai berbulan-bulan akan ada kasus baru.
Dasar persespsi yang digunakan adalah over kapasitas hingga 529% itu tadi. Tak berhenti disitu, narapidana yang terpapar tentunya harus diisolasi di ruang khusus, namun luas bangunan gedung tidak akan mencukupi apabila harus mengakomodir dalam jumlah banyak.
Akhirnya opsi terakhir adalah membawa ke Rumah Sakit untuk dilakukan perawatan lebih lanjut. Masalah kemudian muncul kembali mengingat narapidana yang di rawat diluar Lapas/Rutan wajib dilakukan pengawalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.
Perbandingan antara petugas dengan narapidana di Lapas/Rutan sangat jauh mencolok. Rata-rata jumlah petugas di Lapas/Rutan adalah 100 hingga 200 orang. Sementara narapidana yang harus dijaga dan dibina ada yang mencapai ribuan dalam 1 Lapas/Rutan.
Kondisi riil tersebut tidak memungkinkan bagi petugas untuk melakukan pengawalan apabila banyak narapidana yang terpapar COVID-19 dan harus dirawat di Rumah Sakit. Fakta demikian juga sangat rentan untuk memantik kerusuhan yang berpotensi pelarian massal karena para narapidana yang di dalam Lapas/Rutan merasa tidak aman atas stabilitas kesehatannya.
Apabila sampai terjadi pelarian massal maka mungkin masyarakat akan jauh lebih berpandangan negatif lagi terkait dengan dampak stabilitas keamanan yang mungkin akan terjadi.
Pemahaman secara menyeluruh atas kebijakan pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana saat COVID-19 sangat diperlukan untuk menghindari narasi-narasi negatif karena informasi yang ditelan secara mentah.
Pemerintah telah mengupayakan kebijakan dengan penuh kebijaksanaan agar tidak terjadi potensi chaos yang lebih besar daripada risiko dari sebuah kebijakan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Pada akhirnya semua perlu memposisikan diri seandainya ada sanak keluarga yang tersandung pidana agar dapat memahami bahwa yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM adalah alasan kemanusiaan.
Oleh: Dimas Ilham Nur Wicaksana / Humas Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta
Email: