Latar Belakang
Era post-truth telah membawa tantangan baru dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam dunia yang semakin terhubung, informasi dapat menyebar dengan cepat melalui berbagai platform digital, seringkali tanpa melalui proses verifikasi yang memadai. Di tengah kemudahan akses ini, fakta-fakta objektif sering kali kalah bersaing dengan emosi dan keyakinan pribadi dalam memengaruhi opini publik. Kondisi ini telah menciptakan krisis kepercayaan yang meluas, di mana masyarakat semakin sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan, dan bahkan lebih sulit lagi untuk mempercayai sumber informasi yang ada. Akibatnya, terjadi polarisasi yang tajam dalam berbagai isu, baik di tingkat lokal maupun global, yang memperdalam perpecahan sosial dan politik.
Landasan Teori
Konsep post-truth menjadi populer pada tahun 2016, saat Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai "Word of the Year." Istilah ini merujuk pada keadaan di mana fakta-fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Dalam konteks ini, informasi yang tidak akurat atau bahkan sepenuhnya salah dapat dengan mudah diterima dan disebarkan jika sesuai dengan keyakinan yang sudah ada pada seseorang.
Teori-teori komunikasi seperti agenda-setting dan framing dapat menjelaskan bagaimana media dan penyedia informasi lainnya dapat membentuk persepsi publik. Teori agenda-setting menyatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik, sementara teori framing menunjukkan bagaimana cara isu-isu tersebut disajikan dapat memengaruhi interpretasi dan respons publik. Dalam era post-truth, kedua teori ini relevan karena media sering kali menggunakan teknik-teknik ini untuk memanipulasi emosi publik, baik secara sengaja maupun tidak.
Ruang Lingkup Masalah
Krisis kepercayaan di era post-truth meliputi berbagai aspek kehidupan, dari politik, kesehatan, hingga perubahan iklim. Di bidang politik, misalnya, pemilu di berbagai negara sering kali diwarnai oleh tuduhan penipuan, penyebaran berita palsu, dan manipulasi informasi yang menyebabkan masyarakat meragukan integritas proses demokrasi. Dalam bidang kesehatan, penyebaran informasi yang salah tentang vaksin dan pandemi COVID-19 telah menyebabkan kebingungan dan ketidakpercayaan yang berbahaya di masyarakat. Demikian pula, isu perubahan iklim sering kali menjadi subjek misinformasi yang menyebabkan perpecahan dalam upaya global untuk menangani krisis lingkungan.
Krisis ini juga diperparah oleh polarisasi politik dan sosial, di mana kelompok-kelompok yang berbeda semakin sulit untuk berdialog dan menemukan kesepakatan. Ketidakpercayaan terhadap media, pemerintah, dan institusi-institusi lainnya telah mencapai titik di mana masyarakat tidak hanya meragukan informasi yang mereka terima, tetapi juga motivasi dan integritas dari sumber informasi tersebut.
Fakta-Fakta
- Meningkatnya Misinformasi: Penelitian menunjukkan bahwa informasi yang salah atau menyesatkan menyebar lebih cepat daripada informasi yang akurat, terutama di media sosial. Sebuah studi oleh MIT menemukan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin untuk di-retweet daripada berita yang benar.
- Polarisasi Politik: Di banyak negara, polarisasi politik semakin tajam, dengan masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang berseberangan dan sulit menemukan titik temu. Menurut Pew Research Center, jurang antara pandangan politik kiri dan kanan di Amerika Serikat, misalnya, terus melebar selama dua dekade terakhir.
- Ketidakpercayaan terhadap Institusi: Survei Edelman Trust Barometer 2021 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah, media, dan institusi lainnya menurun secara signifikan. Masyarakat semakin skeptis terhadap informasi yang diberikan oleh otoritas resmi dan lebih cenderung mempercayai informasi dari lingkaran sosial mereka sendiri, meskipun tidak terverifikasi.
- Penyebaran Berita Palsu: Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan WhatsApp sering menjadi saluran utama penyebaran berita palsu. Pada pemilu 2016 di AS, misalnya, informasi palsu tentang calon presiden dan kebijakan mereka menyebar luas, memengaruhi opini publik.
Kendala dan Solusi
No | Kendala | Solusi | Contoh Implementasi | Tautan Berita Terkait |
1 | Rendahnya literasi informasi | Meningkatkan pendidikan formal dan informal | Mengadakan program literasi media di sekolah, menyelenggarakan workshop verifikasi fakta di komunitas | https://www.kominfo.go.id/content/detail/31101/kominfo-hati-hati-hoaks-pilkada-2020-yang-menghasut/0/berita_satker |
2 | Kurangnya transparansi | Peningkatan akses terhadap data publik | Membuat portal data terbuka yang mudah diakses oleh masyarakat | https://www.kemhan.go.id/2022/12/14/anugerah-keterbukaan-informasi-publik-tahun-2022-kemhan-ri-terima-predikat-sebagai-badan-publik-informatif.html |
3 | Polarisasi | Mendorong dialog antar kelompok | Mengadakan forum diskusi yang inklusif | https://www.kompas.id/baca/riset/2023/07/10/tantangan-menepis-polarisasi-politik-pemilu-2024 |
4 | Penyebaran misinformasi | Kolaborasi antar pemangku kepentingan | Membentuk tim respons cepat untuk menangkal hoaks | https://www.kominfo.go.id/content/detail/27755/kominfo-hingga-juni-terdapat-850-hoaks-terkait-covid-19/0/sorotan_media |
Kesimpulan
Krisis kepercayaan di era post-truth adalah tantangan yang kompleks dan multidimensional. Ini bukan hanya masalah tentang ketidakpercayaan terhadap informasi, tetapi juga mencerminkan masalah yang lebih dalam terkait polarisasi sosial, rendahnya literasi informasi, dan kurangnya transparansi institusi. Mengatasi krisis ini memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, di mana pemerintah, media, institusi pendidikan, dan masyarakat bekerja sama untuk membangun kembali kepercayaan yang hilang. Literasi informasi, transparansi, dialog yang sehat, dan regulasi yang bijak adalah elemen kunci dalam memerangi krisis kepercayaan ini. Dengan usaha yang tepat, masyarakat dapat kembali menemukan landasan bersama untuk mencapai konsensus dan merespons tantangan global dengan lebih efektif.