YOGYAKARTA - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DIY menggelar Edukasi Pencegahan Pelanggaran Kekayaan Intelektual. Kegiatan ini menyoroti urgensi pelindungan karya cipta Artificial Intelligence (AI).
Edukasi Pencegahan Pelanggaran Kekayaan Intelektual dilaksanakan di Eastparc Hotel Yogyakarta, Senin (22/5/2023). Kepala Kanwil Kemenkumham DIY Agung Rektono Seto menyebut kecerdasan buatan atau AI tidak terhindarkan dalam dunia teknologi yang berkembang pesat.
Agung mencontohkan viralnya suara Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyanyikan lagu Asmalibrasi milik Soegi Bornean yang merupakan hasil karya artificial intelligence yang bernama AI Cover Song. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan pun disebutnya telah merambah dunia seni atau lazim disebut AI Arts.
"Meski memudahkan, pemanfaatan AI pada dunia seni dan industri kreatif ternyata memiliki persoalan hukum dalam perlindungan hak cipta," ujar Agung.
"AI ibarat dua sisi mata uang. Kemajuan teknologinya menawarkan banyak kemudahan, namun sekaligus dapat memberi ancaman bagi para pelaku seni dan ekonomi kreatif dari sisi orisinalitas dan hak cipta," lanjutnya.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta saat ini dituntut agar dapat mengakomodir pelindungan karya cipta yang dihasilkan oleh AI. Karena itulah, Kanwil Kemenkumham DIY menilai kegiatan edukasi ini perlu dilaksanakan sebagai wadah diskusi bagi pelindungan karya cipta kedepannya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pelayanan Hukum Yustina Elistya Dewi berharap kegiatan ini dapat memberikan pemahaman terkait perkembangan dan pelindungan kekayaan intelektual, khususnya karya cipta.
Edukasi Pencegahan Pelanggaran Kekayaan Intelektual bertema 'Urgensi Pelindungan Karya Cipta Artificial Intelligence' menghadirkan narasumber yang berkompeten, yakni Analis Hukum Ahli Muda DJKI Achmad Iqbal Taufiq, akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Mochamad Faisal Rochman, dan akademisi AMIKOM Yogyakarta Prof. Ema Utami.
Iqbal menyampaikan bahwa dengan perkembangan teknologi saat ini, sulit untuk membedakan pertanggungjawaban hukum bagi pelanggar hak cipta. Sementara, Faisal menyebut ada tiga kontroversi penggunaan AI, yakni tanpa persetujuan artis (consented), tidak ada kompensasi bagi artis (compensated), dan tidak adanya pengakuan tentang asal karya AI (credited).
"Untuk mendapatkan hak cipta, seniman harus memodifikasi sedemikian rupa dari karya asli yang dihasilkan oleh AI dan mampu membuktikan usaha kreatifnya tersebut," jelas Faisal.
"Apakah AI bisa disebut sebagai karya seni atau bukan sangat tergantung pada pandangan individu dan perspektif yang diadopsi, peraturan tentang hak cipta setiap negara berbeda," sambungnya.
Di sisi lain, Prof. Ema menjelaskan sejarah AI dan perkembangan AI hingga saat ini. Menurutnya, AI menyimpan ancaman, tantangan, dan peluang seiring dengan perkembangannya.
"Program berbasis AI itu semakin pintar, terutama di bidang seni. Masalahnya adalah tidak semua merupakan konten yang bebas digunakan. Tantangannya adalah bagaiman meminimalisir pelanggaran kekayaan intelektualnya. Tentu kita mengharapkan adanya kebijakan yang mengatur penggunaan AI, terutama di bidang seni," tandasnya.
Diskusi berjalan aktif dan interaktif. Kegiatan ini diikuti Sentra KI se-DIY, Aparat Penegak Hukum di DIY, Bea Cukai Yogyakarta, Dekranasda DIY, Dinas terkait di Pemda DIY, PPNS Kekayaan Intelektual, serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi di DIY.
(AZR/Humas Kanwil Kemenkumham D.I. Yogyakarta - Jogja Pasti Istimewa)